musicpromote.online Sistem royalti musik di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah USEA Global, sebuah platform musik berlisensi yang berbasis di Singapura, mengungkap berbagai masalah mendasar yang terjadi dalam pengelolaannya. Menurut mereka, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lain dalam memastikan royalti yang seharusnya diterima pencipta lagu benar-benar sampai kepada pemilik hak cipta.
CEO USEA Global, Jerry Chen, mengungkapkan bahwa salah satu persoalan terbesar adalah keberadaan dana royalti tidak diklaim atau uncollected fund dalam jumlah besar. Dana ini berasal dari pemutaran musik di berbagai platform dan tempat usaha, tetapi tidak berhasil ditelusuri secara tepat kepada pemilik haknya. Akibatnya, uang tersebut tertahan tanpa kejelasan penggunaan, sehingga memicu keraguan publik mengenai transparansi lembaga yang mengelolanya.
Masalah Utama: Royalti Tak Tercairkan dan Minim Transparansi
Kerumitan sistem royalti Indonesia bukan hal baru. Namun, pernyataan USEA Global mengangkat kembali isu penting yang selama ini tidak terselesaikan. Salah satu masalah paling serius adalah penumpukan dana royalti yang tidak jelas pemiliknya. Dana ini berasal dari pemutaran musik di restoran, pusat perbelanjaan, hotel, radio, hingga platform digital.
Seharusnya, dana tersebut disalurkan kepada pencipta lagu, artis, atau produser yang memiliki hak. Namun lemahnya sistem pendataan dan kurangnya integrasi database menyebabkan banyak dana mengendap tanpa kejelasan. Ini memperlihatkan bahwa manajemen royalti di Indonesia masih belum sepenuhnya modern dan belum didukung sistem digital yang kuat.
USEA Global menilai bahwa situasi ini berdampak langsung pada kepercayaan ekosistem industri musik. Jika pencipta lagu tidak mendapatkan haknya secara transparan, hal ini bisa menurunkan semangat berkarya dan memengaruhi pertumbuhan industri kreatif nasional.
Perbandingan dengan Negara ASEAN Lain
Ketika Indonesia masih berkutat dengan masalah struktural, negara-negara ASEAN lain sudah jauh lebih maju dalam penanganan royalti.
1. Singapura: Sistem Digital Terintegrasi
Singapura menjadi contoh negara yang memiliki manajemen royalti paling efisien di kawasan. Semua pemutaran musik terhubung dengan sistem digital yang mampu mendeteksi lagu yang diputar secara real time. Dana royalti langsung ditelusuri dan disalurkan tanpa banyak jeda waktu.
2. Malaysia: Database Terpusat
Malaysia berhasil mengurangi dana royalti tak tercairkan melalui penggabungan beberapa lembaga pengelola hak cipta menjadi satu sistem data nasional. Dengan database terpusat, pencocokan data pemilik lagu jauh lebih mudah dilakukan.
3. Thailand: Audit Berkala
Thailand menerapkan audit rutin pada lembaga pengelola royalti. Setiap tahun, pemerintah memastikan tidak ada dana yang mengendap tanpa alasan jelas. Transparansi menjadi syarat wajib agar lembaga tetap dipercaya industri.
Jika dibandingkan dengan praktik di negara-negara tersebut, Indonesia terlihat tertinggal dalam aspek digitalisasi, pendataan, dan standar akuntabilitas.
Tumpang Tindih Lembaga Pengelola Hak Cipta
Salah satu penyebab kerumitan pengelolaan royalti di Indonesia adalah banyaknya lembaga manajemen kolektif yang berjalan sendiri-sendiri. Setiap lembaga memiliki database, aturan, dan mekanisme penagihan berbeda. Alih-alih memperkuat ekosistem, kondisi ini justru menyebabkan tumpang tindih data dan kebingungan bagi pengguna musik komersial.
Misalnya, restoran atau tempat usaha tertentu kadang harus membayar royalti kepada beberapa lembaga sekaligus karena database tidak sinkron. Padahal, tidak semua pemilik lagu terdata di satu lembaga. Ketidaksinkronan ini menyebabkan sebagian dana mengendap sebagai uncollected fund karena sulit dicocokkan dengan pemilik hak cipta sebenarnya.
USEA Global menilai bahwa tanpa penyatuan database, masalah serupa akan terus terjadi.
Kritik Industri: Royalti Tidak Sampai ke Pencipta Lagu
Para musisi dan pencipta lagu sudah lama menyuarakan ketidakpuasan mengenai distribusi royalti. Banyak dari mereka mengaku menerima jumlah yang jauh lebih kecil daripada yang seharusnya. Ada pula yang tidak pernah menerima laporan pemutaran lagu, meskipun lagu mereka diputar di banyak tempat.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah dana royalti yang dikumpulkan benar-benar terdistribusi dengan adil? Minimnya transparansi membuat pelaku industri kesulitan menelusuri bagaimana uang tersebut dikelola.
Dampak terhadap Industri Musik Nasional
Sistem royalti yang tidak terorganisir dengan baik memiliki dampak jangka panjang. Musisi yang tidak mendapatkan royalti layak akan kesulitan melanjutkan proses kreatifnya. Hal ini bisa menghambat regenerasi musisi baru dan membuat industri musik stagnan.
Padahal, royalti adalah sumber pendapatan utama bagi pencipta lagu. Tanpa sistem yang modern dan adil, karya musik Indonesia berpotensi kurang berkembang dibanding negara lain.
Harapan dan Solusi untuk Perbaikan Sistem Royalti
USEA Global menekankan bahwa Indonesia membutuhkan digitalisasi menyeluruh dalam sistem royalti. Ada beberapa langkah penting yang disarankan:
- Penggabungan database seluruh lembaga agar pencocokan data lebih akurat.
- Transparansi penggunaan dana uncollected fund, sehingga publik tahu ke mana uang mengalir.
- Audit rutin dari pemerintah untuk memastikan lembaga pengelola royalti patuh standar.
- Sistem pelaporan real-time untuk pemutaran musik di tempat publik.
- Sosialisasi kepada pelaku usaha agar memahami cara pembayaran royalti secara benar.
Langkah-langkah ini diyakini dapat mengakhiri sengkarut royalti yang selama ini menghambat perkembangan musik tanah air.
Kesimpulan: Indonesia Perlu Reformasi Royalti Secepatnya
Sorotan USEA Global menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan besar dalam mengelola royalti musik. Dana tak tercairkan, minim transparansi, dan tumpang tindih lembaga membuat sistem ini jauh dari ideal. Dengan belajar dari negara ASEAN lain, Indonesia berpeluang memperbaiki sistem royalti dan memastikan para pencipta lagu mendapatkan hak mereka secara adil.

Cek Juga Artikel Dari Platform baliutama.web.id
