musicpromote.online Persatuan Artis Musik Dangdut Indonesia (PAMDI) menyampaikan usulan penting kepada pemerintah terkait tarif pajak yang dikenakan pada royalti musik. Selama ini, tarif pajak sebesar 15 persen dianggap memberatkan para musisi, terutama bagi mereka yang bergantung pada pendapatan dari royalti. Usulan tersebut disampaikan dalam forum rapat dengar pendapat umum di Badan Legislasi DPR, sebagai bagian dari pembahasan Revisi Undang-Undang Hak Cipta.
PAMDI menegaskan bahwa pajak royalti musik harus mencerminkan karakter karya seni sebagai produk intelektual, bukan sebagai komoditas fisik yang sama dengan barang-barang berbasis sumber daya alam. Karena itu, mereka meminta agar pemerintah meninjau ulang kebijakan perpajakan yang berlaku saat ini.
Tarif Pajak 15 Persen Dianggap Tidak Adil bagi Musisi
Tarif pajak royalti yang berlaku saat ini membuat banyak musisi merasa pendapatan mereka tergerus cukup besar. Royalti musik yang seharusnya menjadi kompensasi atas jerih payah dalam menciptakan karya, justru berkurang signifikan setelah dipotong pajak. Hal ini semakin terasa bagi musisi dangdut dan pekerja seni dengan skala kecil atau menengah.
Musisi yang memperoleh penghasilan tidak konsisten dari panggung atau kontrak kerja sangat mengandalkan royalti lagu. Dengan tarif yang tinggi, mereka merasa tidak mendapatkan apresiasi yang proporsional. PAMDI menilai bahwa pemerintah perlu melihat kembali konteks pendapatan musisi yang tidak stabil dari waktu ke waktu.
Musik adalah Produk Intelektual, Bukan Komoditas SDA
Dalam pemaparannya, PAMDI menyebut bahwa karya musik tidak boleh diperlakukan sama dengan komoditas yang berbasis sumber daya alam. Produk intelektual memiliki karakter yang sangat berbeda karena lahir dari proses kreatif, imajinasi, dan kemampuan artistik. Karya musik tidak terkait dengan eksploitasi alam, sehingga perlakuan pajaknya juga seharusnya berbeda.
Karya cipta seperti lagu memberikan nilai budaya, nilai sosial, hingga nilai ekonomi yang sangat luas. Royalti merupakan bentuk penghargaan atas kekayaan intelektual tersebut. Karena itu, pemberlakuan tarif pajak tinggi dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberdayaan industri kreatif nasional.
Tantangan Ekonomi di Industri Musik Dangdut
Musik dangdut memiliki pasar besar di Indonesia, namun tidak semua pelakunya menikmati pendapatan stabil. Banyak artis, pencipta lagu, hingga pemusik pendukung masih bekerja secara mandiri tanpa dukungan institusi yang kuat. Pada banyak kasus, royalti menjadi satu-satunya penghasilan tetap.
Ketika tarif pajak royalti tinggi, musisi dengan karya terbatas akan merasakan dampak signifikan. Mereka harus membayar pajak yang besar, padahal tidak memperoleh pendapatan dalam jumlah besar. Industri dangdut juga mengalami tantangan lain seperti pembajakan, minimnya perlindungan karya, dan rendahnya pemahaman masyarakat mengenai pembayaran royalti.
Dengan semua tantangan tersebut, PAMDI menilai bahwa pengurangan tarif pajak menjadi langkah penting untuk mendorong keberlanjutan ekonomi para musisi.
Implikasi Jika Tarif Pajak Royalti Diturunkan
Penurunan pajak royalti musik bukan hanya berdampak bagi musisi dangdut, tetapi juga bagi seluruh pelaku industri musik. Ada beberapa implikasi positif yang dapat muncul jika pemerintah mengabulkan usulan PAMDI:
1. Pendapatan Musisi Lebih Terjaga
Dengan pajak lebih rendah, musisi dapat menerima royalti lebih besar. Hal ini memberi ruang bagi mereka untuk terus berkarya dan meningkatkan kualitas musik.
2. Mendorong Kreativitas Seni
Pendapatan yang lebih layak akan membantu musisi dalam memproduksi karya baru. Industri kreatif pun dapat berkembang lebih cepat.
3. Memperkuat Ekosistem Musik Nasional
Ketika pendapatan musisi meningkat, efek domino akan terasa pada studio rekaman, label, pengelola panggung, dan pengelola hak cipta.
4. Membantu Musisi Kecil Bertahan
Musisi yang tidak memiliki banyak sumber pendapatan akan sangat terbantu jika beban pajaknya berkurang.
Perlu Penyelarasan dengan Undang-Undang Hak Cipta
Usulan penurunan pajak ini muncul bersamaan dengan pembahasan Revisi UU Hak Cipta. PAMDI ingin memastikan bahwa regulasi tentang royalti tidak hanya memperkuat perlindungan terhadap karya seni, tetapi juga memperhatikan aspek kesejahteraan penciptanya. Tarif pajak harus mendukung ekosistem hak cipta, bukan justru menghambatnya.
Dalam revisi undang-undang tersebut, pemerintah dan DPR diharapkan mampu menyelaraskan sistem pembayaran royalti, mekanisme pendistribusian, serta aturan perpajakan agar lebih adil dan berorientasi pada keberlanjutan industri kreatif.
Kebutuhan Dialog Berkelanjutan antara Pemerintah dan Musisi
PAMDI menekankan pentingnya dialog berkelanjutan antara pemerintah dan musisi. Industri kreatif sangat dinamis dan membutuhkan pendekatan yang adaptif. Pajak terlalu tinggi bisa menghambat pertumbuhan, sementara regulasi yang baik dapat memicu perkembangan positif dalam jangka panjang.
Pelaku musik dangdut berharap pemerintah membuka ruang lebih luas bagi organisasi musik untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan. Dengan begitu, regulasi yang dihasilkan dapat lebih tepat sasaran dan mencerminkan kebutuhan pelaku industri.
Kesimpulan: pajak royalti harus mencerminkan karakter karya musik
PAMDI menilai bahwa tarif pajak royalti musik yang berlaku saat ini tidak selaras dengan karakter karya cipta sebagai produk intelektual. Dengan mengusulkan penurunan pajak dari 15 persen, mereka berharap pemerintah memberikan perhatian lebih besar terhadap kesejahteraan musisi. Jika usulan ini dikabulkan, industri musik Indonesia, khususnya dangdut, berpeluang tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.

Cek Juga Artikel Dari Platform updatecepat.web.id
