musicpromote – Musisi sekaligus dokter, Tompi, kembali menyuarakan kegelisahannya soal tata kelola royalti di Indonesia. Kali ini, ia menyoroti kinerja Wahana Musik Indonesia (WAMI) sebagai lembaga manajemen kolektif (LMK) yang bertanggung jawab mengatur distribusi royalti bagi para pencipta lagu. Dalam sebuah diskusi publik, Tompi dengan nada tegas menilai sistem yang ada masih jauh dari kata transparan.
“Masalahnya bukan sekadar uang, tapi bagaimana transparansi dan rasa adil itu hadir untuk para musisi. Jangan sampai keringat orang lain dinikmati segelintir pihak,” ujar Tompi. Baginya, dunia musik Indonesia seharusnya bisa lebih sehat bila sistem royalti berjalan terbuka, jelas, dan tidak menimbulkan rasa curiga.
Kritik ini muncul bukan tanpa alasan. Banyak musisi dan pencipta lagu yang mengeluhkan pendapatan royalti mereka tidak sebanding dengan tingkat penggunaan karya di ruang publik. Beberapa bahkan merasa bingung karena tak pernah mendapat laporan jelas, meskipun lagunya sering diputar di kafe, hotel, atau platform digital.
Tompi menekankan, WAMI dan LMK lainnya harus berani menawarkan solusi konkret. “Kalau cuma sibuk menghitung, tapi laporan tidak terbuka, sama saja bohong. Kita butuh sistem digital yang real-time, supaya musisi bisa tahu lagu mereka diputar di mana, dan berapa hak yang seharusnya diterima,” tambahnya.
Sentilan Tompi langsung mendapat sorotan publik. Banyak netizen menganggap pernyataannya mewakili keresahan para musisi tanah air. Apalagi, masalah royalti bukan hal baru. Sejak lama, perdebatan tentang kejelasan mekanisme pembagian royalti selalu muncul, tapi hingga kini belum ada formula yang benar-benar memuaskan semua pihak.
Pengamat musik menilai, kritik Tompi sebetulnya membuka ruang penting untuk perbaikan. Di era digital, pencatatan manual jelas tidak lagi relevan. Diperlukan sistem berbasis teknologi, seperti blockchain atau big data, yang bisa memonitor pemutaran lagu secara lebih akurat. “Dengan sistem canggih, hak cipta bisa terlindungi, dan musisi tidak lagi bingung soal transparansi,” jelas salah satu analis industri kreatif.
WAMI sendiri, ketika dimintai tanggapan, menyatakan siap berdialog dengan semua musisi. Mereka mengklaim terus memperbaiki mekanisme laporan dan membuka diri terhadap masukan. Namun, sebagian musisi tetap skeptis, menilai janji tersebut harus dibuktikan dengan langkah nyata, bukan sekadar wacana.
Masalah royalti memang bukan perkara sepele. Di baliknya ada nasib ribuan musisi, pencipta lagu, dan keluarganya. Bagi mereka, royalti bukan hanya angka di rekening, melainkan penghargaan atas karya dan jerih payah yang telah mereka ciptakan. Ketika sistem tidak jelas, rasa keadilan pun terganggu.
Tompi menutup kritiknya dengan ajakan: “Saya ingin WAMI atau siapa pun yang pegang mandat ini benar-benar memikirkan solusinya. Jangan lagi ada musisi yang merasa dipermainkan. Musik adalah karya, bukan sekadar komoditas.”
Ucapan itu menggarisbawahi bahwa perdebatan soal royalti bukan sekadar masalah teknis, melainkan juga persoalan kepercayaan. Transparansi adalah kunci, dan tanpa itu, kepercayaan musisi terhadap lembaga pengelola akan terus rapuh.
Kini, bola panas ada di tangan WAMI. Apakah mereka akan menjawab sentilan Tompi dengan reformasi nyata, atau kembali terjebak dalam janji manis yang berulang? Publik dan musisi sama-sama menunggu, dengan harapan musik Indonesia bisa melangkah maju, tidak hanya dalam karya, tetapi juga dalam keadilan bagi penciptanya.
