musicpromote – Tangis penyanyi dangdut Lesti Kejora pecah saat menghadiri sidang Mahkamah Konstitusi. Bukan karena urusan politik atau hukum secara langsung, melainkan karena hatinya tergores akibat somasi yang dilayangkan kepada dirinya. Lagu berjudul “Biar Bulan Bicara” ciptaan mendiang Yoni Dores, yang ia nyanyikan ulang dan populer di berbagai platform digital, menjadi pangkal masalah yang kini menyeret namanya ke dalam pusaran persoalan hukum.
Di balik gemerlap panggung dan popularitasnya sebagai penyanyi papan atas, Lesti harus menghadapi kenyataan pahit: sebuah tuduhan pelanggaran hak cipta. Ini membuka mata banyak orang tentang betapa rumit dan sensitifnya dunia musik, terutama terkait karya yang telah melekat di hati masyarakat selama puluhan tahun.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi, dan mengapa kasus ini bisa sampai menguras air mata di ruang Mahkamah Konstitusi? Mari kita bedah dengan sentuhan manusiawi, bukan sekadar hitam putih aturan hukum.
Lagu Lama, Luka Baru
“Biar Bulan Bicara” bukan lagu baru. Lagu ini sudah melegenda di jagat musik Indonesia, dengan nuansa melankolis yang begitu kuat. Banyak orang tumbuh besar dengan lagu ini, menjadikannya kenangan yang hidup di hati.
Lesti, dengan suara khas dan emosional, membawakan ulang lagu tersebut dalam versi yang lebih segar. Lagu itu kemudian viral di media sosial, diputar jutaan kali di YouTube dan Spotify. Namun siapa sangka, langkah itu justru membuka pintu konflik.
Ahli waris dari Yoni Dores menilai bahwa lagu tersebut digunakan tanpa izin resmi atau perjanjian hitam di atas putih. Mereka mengklaim bahwa popularitas ulang dari lagu itu telah mendatangkan keuntungan finansial yang seharusnya juga menjadi hak keluarga pencipta.
Bagi Lesti, ini bukan hanya soal uang. Lagu itu dinyanyikan dari hati, sebagai bentuk penghormatan terhadap karya yang ia cintai. Namun bagi keluarga mendiang, ini tentang hak dan keadilan, warisan yang mereka jaga setelah sang pencipta pergi untuk selamanya.
Dunia Musik yang Tak Cuma Soal Nada
Kasus ini menyorot persoalan yang sering luput dari perhatian publik: bahwa musik bukan hanya soal suara dan perasaan, tapi juga soal legalitas. Setiap lagu punya pemilik, dan pemilik itu berhak atas royalti, izin, dan perlindungan hukum.
Di Indonesia, aturan tentang hak cipta sudah cukup jelas. Namun pelaksanaannya masih banyak tantangan. Penyanyi, label, dan platform digital kerap dianggap satu pihak, padahal semua memiliki peran dan tanggung jawab berbeda.
Lesti sendiri sudah menjelaskan bahwa ia hanya menyanyikan lagu tersebut, dan urusan legal biasanya ditangani oleh label. Tapi dalam praktiknya, penyanyi seringkali menjadi wajah dari segala permasalahan, karena merekalah yang tampil di publik.
Inilah kenyataan yang pahit namun nyata. Ketika masalah hak cipta mencuat, emosi dan persepsi publik bisa jadi lebih tajam daripada fakta hukum. Terlebih lagi ketika nama besar seperti Lesti terseret, semua mata tertuju pada sosok yang selama ini dikenal lembut dan santun.
Air Mata dan Pengakuan di Mahkamah Konstitusi
Saat duduk di ruang sidang MK, Lesti tak bisa menahan haru. Ia berbicara pelan, sesekali terisak, saat menjelaskan bahwa ia tidak pernah berniat mengambil keuntungan dari lagu tersebut tanpa izin. Ia bahkan menyebut bahwa ia ingin mempopulerkan kembali karya legenda yang hampir terlupakan.
“Saya tidak tahu harus bagaimana. Lagu itu saya nyanyikan karena saya cinta lagu Indonesia. Tidak ada niat buruk,” ucapnya sambil menyeka air mata.
Bagi banyak orang, ini bukan hanya momen hukum. Ini momen kemanusiaan. Di satu sisi ada keluarga pencipta yang ingin haknya dihargai, di sisi lain ada penyanyi yang tulus menyanyikan karya tersebut. Dua sisi yang sama-sama benar dari kacamata masing-masing, namun berbenturan di tengah sistem yang belum sepenuhnya rapi.
Media sosial pun ramai. Ada yang mendukung Lesti karena percaya ia hanya korban sistem. Ada pula yang membela keluarga Yoni Dores karena merasa hak cipta harus ditegakkan. Di tengah perdebatan itu, satu hal jadi jelas: Indonesia masih perlu ruang dialog yang lebih adil dan lembut soal hak kekayaan intelektual.
Industri Musik Perlu Pembenahan
Kasus ini seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak di industri musik. Kita tidak bisa lagi mengandalkan cara lama yang serba informal dalam mengelola hak cipta. Diperlukan sistem yang lebih tertib, transparan, dan edukatif baik untuk pencipta lagu, penyanyi, label, hingga platform digital.
Pemerintah melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebenarnya sudah mencoba memperbaiki tata kelola royalti dan izin. Namun banyak pihak di industri yang belum benar-benar paham atau sadar akan pentingnya proses ini.
Musisi seperti Lesti mungkin tidak sepenuhnya bersalah, tapi mereka tetap bisa terseret jika sistem tidak berjalan ideal. Karena itu, kolaborasi antara seniman, hukum, dan teknologi menjadi krusial ke depan.
Termasuk publik juga perlu lebih mengerti bahwa setiap karya seni punya pemilik. Sama seperti kita menghargai otomotifmotorindo sebagai sumber informasi spesifik, kita juga harus menghargai musik sebagai sesuatu yang tidak boleh dikonsumsi tanpa memperhatikan etikanya.
Belajar dari Kasus Ini
Dari tangis Lesti, kita belajar bahwa niat baik kadang tidak cukup di dunia profesional. Dalam industri, setiap langkah perlu perencanaan, kontrak, dan persetujuan. Meski kedengarannya kaku, itu justru demi melindungi semua pihak.
Yang menarik, setelah sidang tersebut, kabarnya Lesti dan keluarga Yoni Dores mulai menjajaki dialog lebih lanjut. Harapan muncul bahwa persoalan ini bisa diselesaikan secara baik-baik. Karena pada akhirnya, musik adalah jembatan rasa, bukan sumber perpecahan.
Momen ini juga semoga menjadi dorongan untuk para musisi muda agar lebih paham soal hukum musik. Tak cukup hanya bermodal suara merdu atau lagu viral, tapi juga harus punya pengetahuan dan tim yang kuat soal legalitas.
Kita semua ingin dunia musik Indonesia tumbuh dan dihargai. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita mulai menghormati prosesnya dari awal dari pencipta lagu, performer, hingga pendengar. Karena di balik setiap nada, ada hak dan tanggung jawab yang menyertainya.
Tangis Lesti di Mahkamah Konstitusi bukan hanya tentang satu lagu. Itu adalah simbol bahwa di tengah popularitas dan kesuksesan, para musisi juga manusia. Mereka bisa terjebak dalam sistem yang rumit, dalam niat baik yang tidak dibarengi pemahaman hukum.
Semoga kejadian ini bisa membuka jalan menuju ekosistem musik Indonesia yang lebih profesional, transparan, dan adil untuk semua. Kita tidak ingin musisi menangis karena lagu yang mereka cintai, melainkan karena bangga bisa menyanyikannya tanpa beban.
Dan untuk para pencinta musik yuk mulai lebih sadar. Setiap lagu yang kita dengar bukan sekadar suara, tapi juga jerih payah, hati, dan hak seseorang. Mari kita nikmati, hormati, dan dukung musik Indonesia dengan cara yang benar.