musicpromote.online Musik sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di kafe, restoran, hotel, atau pusat perbelanjaan, lagu-lagu mengiringi suasana agar lebih hidup. Namun, di balik alunan musik yang terdengar ringan itu, ada perdebatan besar tentang royalti dan hak cipta.
Kasus terbaru yang melibatkan sebuah restoran di Bali memunculkan ketakutan di kalangan pelaku usaha. Banyak kafe kini memilih mematikan musik karena takut terjerat hukum. Di sisi lain, para musisi justru merasa kehadiran hukum itu penting untuk melindungi hak mereka sebagai pencipta.
Sayangnya, di tengah perdebatan itu, publik masih bertanya-tanya: bagaimana sebenarnya aturan pembayaran royalti di Indonesia, dan ke mana uangnya mengalir?
Apa Itu Royalti Lagu?
Royalti adalah kompensasi finansial untuk pencipta lagu, penyanyi, atau produser setiap kali karya mereka digunakan untuk kepentingan komersial. Misalnya, lagu yang diputar di kafe, digunakan dalam iklan, atau tampil di acara televisi.
Dalam konteks tempat usaha, musik yang diputar dianggap sebagai bagian dari pengalaman bisnis yang memberi nilai tambah bagi pelanggan. Oleh karena itu, pemilik usaha wajib membayar royalti kepada pihak yang berhak.
Aturan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal 87 menjelaskan bahwa penggunaan karya musik secara komersial tanpa izin atau pembayaran royalti dapat dikenai sanksi pidana.
Masalah muncul karena banyak pelaku usaha yang tidak memahami cara kerja sistem royalti dan merasa belum mendapat sosialisasi yang memadai dari pemerintah.
Siapa yang Mengelola Royalti?
Di Indonesia, lembaga resmi yang mengatur dan menyalurkan royalti musik adalah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Lembaga ini berada di bawah pengawasan Kementerian Hukum dan HAM.
Tugas LMKN adalah mengumpulkan royalti dari pengguna lagu, lalu mendistribusikannya kepada para pencipta, penyanyi, dan produser rekaman. Sistemnya mirip seperti badan pengumpul pajak, tetapi untuk karya musik.
Selain LMKN, ada pula sejumlah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) independen yang menangani genre atau kelompok musisi tertentu. LMK-lah yang melakukan pencatatan karya, memantau penggunaan lagu, dan memastikan distribusi royalti berjalan adil.
Masalahnya, sistem ini masih dianggap kurang transparan dan belum seragam. Beberapa musisi mengaku belum pernah menerima laporan rinci mengenai jumlah royalti yang seharusnya mereka dapatkan.
Ke Mana Uang Royalti Mengalir?
Pertanyaan besar muncul: setelah dikumpulkan, ke mana uang royalti itu pergi?
Menurut LMKN, dana yang diterima dari tempat usaha akan dibagi berdasarkan porsi tertentu:
- Sebagian besar untuk pencipta lagu dan komposer.
- Sebagian lainnya untuk penyanyi, produser rekaman, dan pemegang hak terkait.
- Sisanya digunakan untuk biaya operasional lembaga pengelola royalti.
Namun, banyak musisi merasa pembagian ini belum dilakukan secara transparan. Beberapa di antaranya bahkan tidak tahu apakah lagu mereka tercatat dan digunakan di ruang publik.
Keterbatasan data dan minimnya sistem digitalisasi menyebabkan pelaporan royalti masih dilakukan secara manual. Ini membuka celah kesalahan perhitungan dan potensi ketidakadilan.
Kafe dan Restoran Mengaku Bingung
Bagi pelaku usaha, masalah royalti sering kali membingungkan. Banyak pemilik kafe dan restoran tidak tahu bahwa memutar lagu di tempat umum termasuk aktivitas komersial.
Sebagian mengira musik yang diputar dari platform digital seperti Spotify atau YouTube sudah mencakup pembayaran royalti. Padahal, lisensi pribadi berbeda dengan lisensi komersial.
Banyak yang juga mengeluhkan minimnya sosialisasi dari pemerintah dan LMKN. Tidak sedikit pelaku usaha yang mengaku baru mengetahui kewajiban ini setelah muncul kasus hukum yang viral.
Akibatnya, sejumlah tempat memilih untuk menghentikan pemutaran musik sama sekali, demi menghindari risiko hukum. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa industri musik justru dirugikan, karena ruang publik untuk menikmati lagu menjadi semakin terbatas.
Pandangan Musisi dan Pengamat
Para musisi umumnya mendukung penegakan aturan royalti, tetapi menuntut transparansi dan kejelasan laporan keuangan. Mereka ingin memastikan bahwa setiap rupiah yang dibayarkan oleh pelaku usaha benar-benar sampai ke pencipta lagu.
Beberapa pengamat budaya menilai persoalan ini seharusnya tidak berakhir pada kriminalisasi pelaku usaha. Pemerintah harus hadir melalui pendekatan edukatif dan kolaboratif, bukan sekadar penegakan hukum.
“Masalah royalti tidak akan selesai kalau pemerintah hanya jadi penonton,” ujar salah satu pengamat musik. Ia menilai bahwa peran pemerintah seharusnya aktif dalam mempertemukan kepentingan antara musisi dan pelaku usaha.
Solusi: Edukasi dan Digitalisasi
Untuk mengatasi kebingungan ini, para ahli menyarankan agar pemerintah dan LMKN membuka akses data penggunaan lagu secara digital. Dengan sistem yang transparan, pencipta lagu dapat memantau kapan dan di mana karyanya digunakan.
Selain itu, perlu ada sosialisasi rutin agar pelaku usaha memahami kewajiban mereka. Pemerintah bisa bekerja sama dengan asosiasi restoran dan kafe untuk menyediakan panduan pembayaran royalti yang jelas dan mudah diakses.
Bagi musisi, pendaftaran karya ke LMK juga penting agar hak mereka terlindungi secara hukum. Tanpa registrasi resmi, lagu mereka tidak akan tercatat dalam sistem, sehingga tidak bisa mendapatkan royalti.
Kesimpulan
Polemik royalti musik di Indonesia mencerminkan kurangnya komunikasi dan transparansi antara pemerintah, musisi, dan pelaku usaha. Di satu sisi, musisi berhak atas hasil karyanya. Namun, di sisi lain, pelaku usaha butuh kepastian hukum yang mudah dipahami.
Solusinya bukan dengan menakut-nakuti pelaku usaha, melainkan dengan membangun sistem royalti yang adil, transparan, dan mudah diakses. Musik seharusnya tidak membuat ruang publik hening, tetapi justru menjadi penghubung antara pelaku seni dan masyarakat.
Dengan regulasi yang lebih jelas dan sistem yang terbuka, diharapkan musik bisa terus hidup — bukan hanya di panggung, tapi juga di setiap sudut ruang publik Indonesia.

Cek Juga Artikel Dari Platform jelajahhijau.com
